Sabtu, 20 Juni 2015

Cerita Daeng

Bahasa Burung

Dalam pengembaraannya, Daeng singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Daeng telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Daeng ke istana.

Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Daeng, “Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!”

“Ia mengatakan,” kata Daeng, “Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya.”


Belajar Bahasa Kurdi
Tetangga Daeng ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Daeng. Sebetulnya Daeng juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.

“Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash.”

“Bagaimana dengan sop dingin ?”

“Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi.”

API !!!!

Hari Jum`at itu, Daeng menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
“Api ! Api ! Api !”

Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,

“Dimana apinya, Mullah ?”

Daeng meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,

“Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah

Belajar Kebijakan
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Daeng. Daeng bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Daeng dan melihat perilakunya.

Malam itu Daeng menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. “Mengapa api itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih panas dan lebih besar apinya,” jawab Daeng.

Setelah api besar, Daeng memasak sop. Sop menjadi panas. Daeng menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya.

“Mengapa sop itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Daeng.

“Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu,” ketus si darwis, “Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu.”

Ah, konsistensi.


Belajar Musik
Pada suatu hari Daeng mendengar ada seorang muda yang bia bermain musik dengan amat bagus. Ia pun tertarik untuk belajar musik. Keesokan harinya, ia pergi ke kota dan menemui guru musik kenamaan. ”Tuan, saya ingin belajar musik, berapa bayarannya?” Guru itu sejenak melihat wajahnya, sebelum akhirnya menjawab,”Murid-muridku membayar tiga dirham untuk bulan pertama, dan kemudian untuk tiap bulan berikutnya membayar satu dirham. Daeng berpikir sejenak dan kemudian berkata, ”Baiklah,” katanya, ”Saya akan mulai kursus pada bulan kedua saja.”


Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Daeng. Kabetulan Daeng sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja, Daeng cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Daeng yang bersembunyi.

“Aha!” kata si pencuri, “Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?”

“Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini.”


Dimana Aku duduk
Dalam sebuah pertemuan para Sufi, Daeng duduk di deretan paling belakang. Setelah itu ia mulai melucu, dan segera saja orang-orang berkumpul mengelilinginya, mendengar dan tertawa. Tak seorang pun yang memperhatikan Sufi tua yang sedang mencari pelajaran. Ketika pembicara tak bisa lagi mendengar suaranya sendiri, ia pun berteriak:
“Kalian semua harus diam! Tak seorang pun boleh bicara sampai ia duduk di tempat pemimpin duduk.” “Aku tidak tau bagaimana caramu melihat hal itu,” kata Daeng, “tapi bagiku, jelas aku duduk di tempat pemimpin duduk.”


Gelar Timur Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Daeng, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.

“Daeng,” katanya suatu hari, “Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, Al-Mu’tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?”

Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Daeng menemukan jawabannya. “Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja.”

* “Aku berlindung kepada Allah (darinya)”


Gossip
A man said to Daeng, ‘Mulla, your wife is a terrible gossip. She visits everyone in town and gossips all the time.’

‘I don’t believe that — otherwise she would surely have dropped in on me from time to time and gossiped — and she has never done that!’


Harga Kebenaran
Seperti biasanya, Daeng memberikan pengajaran di mimbar. “Kebenaran,” ujarnya “adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material.”

Seorang murid bertanya, “Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?”

“Kalau engkau perhatikan,” sahut Daeng, “Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia.”


Harga Timur Lenk
Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Daeng soal kekuasaannya.

“Daeng! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku ?”

Kali ini Daeng menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir.

“Saya taksir, sekitar 100 dinar saja”

Timur Lenk membentak Daeng, “Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar.”

“Tepat sekali,” kata Daeng. “Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja.”


Harmoni Buah-buahan

Daeng bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Daeng merenung.

“Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar.”

Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Daeng yang sedang tidak bersorban.

“Ah. Kurasa aku tahu sebabnya.”


Hidangan untuk Baju
Daeng menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan jelek, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Daeng pulang kembali.

Namun tak lama, Daeng kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuang Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.

Tetapi Daeng segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, “Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!”

Untuk mana ia memberikan alasan “Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku.”


Hidangan untuk Baju
Daeng menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan.

Melihat kerakusan sahabatnya, Daeng mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,

“Hai Daeng, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!”

“Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat,” jawab Daeng, “Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya.”


Itik Berkaki satu
Sekali lagi Daeng diundang Timur Lenk. Daeng ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Daeng sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Daeng membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.

Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Daeng, “Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah ?”

“Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam.”

Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.

“Lihatlah,” kata Daeng puas, “Di sini itik hanya berkaki satu.”

Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.

Tapi Daeng tidak kehilangan akal. “Subhanallah,” katanya, “Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga.”

Jatuh ke Kolam
Daeng hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Daeng orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Daeng berterima kasih berulang-ulang.

Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Daeng mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Daeng langsung melompat ke air.

“Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!”


Jubah Jatuh
Daeng pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah, istri Daeng sudah menanti dengan marah. “Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !” katanya sambil menjewer Daeng. Karena kuatnya, Daeng terpelanting dan jatuh menabrak peti.

Mendengar suara gaduh, teman-teman Daeng yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,

“Ada apa Daeng, malam-malam begini ribut sekali?”

“Jubahku jatuh dan menabrak peti,” jawab Daeng.

“Jubah jatuh saja ribut sekali ?”

“Tentu saja,” sesal Daeng, “Karena aku masih berada di dalamnya.”


Benar benar Benar
Daeng sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Daeng berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”

Petugas majelis membujuk Daeng, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Daeng kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Daeng kembali berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”

Petugas mengingatkan Daeng bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Daeng menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”


Jangan terlalu dalam
Telah berulang kali Daeng mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Daeng menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi — kita tahu — menyogok itu diharamkan. Maka Daeng memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.

Daeng menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Daeng mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Daeng.

Daeng kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?”

Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.” Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar mentega ini!”

“Yah,” jawab Daeng, “Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam.” Dan berlalulah Daeng.



The Value of Truth

‘If you want truth’, Daeng told a group of Seekers who had come to hear his teachings, ‘you will have to pay for it.’
‘But why should you have to pay for something like truth?’ asked one of the company.
‘Have you noticed’, said Daeng, ‘that it is the scarcity of a thing which determines its value?’


Terburu-buru

Keledai Daeng jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Daeng menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Daeng berpegangan di atasnya, ketakutan.
Daeng mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.
Beberapa teman Daeng sedang bekerja di ladang ketika melihat Daeng melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak,
“Ada apa Daeng ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?”
Daeng balas berteriak, “Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !”

Teori Kebutuhan

Daeng berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
“Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”
Daeng menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?”
Daeng menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”
Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”
Daeng balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”
Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.”
Dan Daeng menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”


Tempat Timur Lenk di Akhirat
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Daeng soal kekuasaannya.
“Daeng! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu ? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina ?”
Bukan Daeng kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan ‘semudah’ ini.
“Raja penakluk seperti Anda,” jawab Daeng, “Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah.”
Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. “Betulkah itu, Daeng ?”
“Tentu,” kata Daeng dengan mantap. “Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir’aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan.”
Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.


Tampang Itu Perlu

Daeng hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
“Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Daeng.
“Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya.
Daeng langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Daeng. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Daeng. Tapi ia terkejut waktu Daeng membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.”
Sang tetangga menyerbu rumah Daeng, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Daeng menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.”
Tetangganya marah. Ia mengajak Daeng menghadap hakim. Daeng berkelit, “Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin.”
Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.
Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Daeng segera mengadukan halnya pada hakim.
“Bagaimana pembelaanmu?” tanya hakim pada Daeng.
“Tetangga saya ini gila, Tuan,” kata Daeng.
“Apa buktinya?” tanya hakim.
“Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya.”
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, “Tetapi itu semua memang milikku!”
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.


Seperti Wujudmu

Daeng sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.
“Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu.”
Seorang tukang melucu menggodanya, “Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?”
Daeng berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:
“Tampak seperti wujudmu.”

Satu-Satunya Baju

Daeng sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Daeng, beberapa penduduk mengeluh,
“Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan.”
Daeng mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Daeng melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Daeng mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut,
“Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!”
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Daeng mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira.
“Bajuku hanya satu ini,” kata Daeng di tengah hujan dan teriakan penduduk, “Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!”
[Catatan Koen: Trik ini sering digunakan oleh kaum sufi -- menggunakan keterjepitan-keterjepitan untuk hal-hal yang berbeda.]

Sama Rata Sama Rasa

Seorang filosof menyampaikan pendapat, “Segala sesuatu harus dibagi sama rata.”
“Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan,” kata seorang pendengar yang skeptik.
“Tapi pernahkah engkau mencobanya ?” balas sang filosof.
“Aku pernah,” sahut Daeng, “Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan.”
“Bagus sekali,” kata sang filosof, “Dan bagaimana hasilnya ?”
“Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk.”

Relativitas Keju

Setelah bepergian jauh, Daeng tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
“Aku punya sepotong keju untukmu,” kata istrinya.
“Alhamdulillah,” puji Daeng, “Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut.”
Tidak lama Daeng kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
“Adakah keju untukku ?” tanya Daeng.
“Tidak ada lagi,” kata istrinya.
Kata Daeng, “Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi.”
“Jadi mana yang benar ?” kata istri Daeng bertanya-tanya, “Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi ?”
“Itu tergantung,” sambut Daeng, “Tergantung apakah kejunya ada atau tidak.”

Perusuh Rakyat

Kebetulan Daeng sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Daeng mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.
“Menjauhlah engkau, hai mullah!” teriak pengawal. [Daeng dikenali sebagai mullah karena pakaiannya]
“Mengapa ?” tanya Daeng.
“Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !”
“Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?”
“Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !”
“Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?” kata Daeng sambil beranjak dari tempatnya.

Periuk Beranak

Daeng meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya. Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu.
“Periukmu sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya dengan selamat.”
Tetangganya itu menerimanya dengan senang. Daeng pun pulang.
Beberapa hari kemudian, Daeng meminjam kembali periuk itu. Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Daeng,
Sambil terisak-isak, Daeng menyambut tamunya, “Oh, sungguh sebuah malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di rumahku. Dan sekarang telah kumakamkan.”
Sang tetangga menjadi marah, “Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh. Mana ada periuk bisa meninggal dunia!”
“Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula meninggal dunia,” kata Daeng, sambil menghentikan isaknya.

Penyelundupan

Ada kabar angin bahwa Mullah Daeng berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Daeng memang sering harus melintasi batas wilayah.
Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. “Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?”
“Jubah,” kata Daeng, serius.

Pembeda Jenis Kelamin

Seorang tetangga Daeng telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.
“Kau tahu,” katanya pada Daeng, “Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan.”
Daeng senang dengan lelucon itu. Katanya, “Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?”

Pelayan Raja

Daeng menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
“Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?” tanya raja kepada Daeng.
“Teramat baik, Tuanku.”
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
“Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!”
“Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku.” ujar Daeng.
“Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik.”
“Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran.”

Pada Sebuah Kapal

Daeng berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Daeng selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
“Teman-teman!” teriak Daeng. “Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!”

Orientasi pada Baju

Daeng diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Daeng melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.
“Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku,” ujar Daeng ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Daeng dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Daeng melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Daeng tetap kering.
“Ini semua salahmu!” teriak tuan rumah, “Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!”
“Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju.”

Daeng Pemungut Pajak

Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.

Timur Lenk memerintahkan Daeng yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Daeng mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Daeng pun dipanggil.

Daeng datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.

“Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Daeng ?” bentak Timur Lenk. “Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka,” jawab Daeng dengan gaya pejabat.

“Kau berpura-pura gila lagi, Daeng ?” Timur Lenk lebih marah lagi. Daeng menjawab takzim, “Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini.”

Daeng Memanah

Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Daeng. Karena Daeng cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Daeng ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.

“Ayo Daeng,” kata Timur Lenk, “Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu.”

Daeng terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Daeng berteriak, “Demikianlah gaya tuan wazir memanah.”

Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Daeng berteriak lagi, “Demikianlah gaya tuan walikota memanah.”

Daeng segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Daeng pun berteriak lagi, “Dan yang ini adalah gaya Daeng memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja.”

Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Daeng.

Daeng Hoja (Mukadimah)

Daeng adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Daeng selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: “Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.”

Nasib dan Asumsi

“Apa artinya nasib, Mullah ?”

“Asumsi-asumsi.”

“Bagaimana ?”

“Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib.”

Miskin dan Sepi

Seorang pemuda baru saja mewarisi kekayaan orang tuanya. Ia langsung terkenal sebagai orang kaya, dan banyak orang yang menjadi kawannya. Namun karena ia tidak cakap mengelola, tidak lama seluruh uangnya habis. Satu per satu kawan-kawannya pun menjauhinya.

Ketika ia benar-benar miskin dan sebatang kara, ia mendatangi Daeng. Bahkan pada masa itu pun, kaum wali sudah sering [hanya] dijadikan perantara untuk memohon berkah.

“Uang saya sudah habis, dan kawan-kawan saya meninggalkan saya. Apa yang harus saya lakukan?” keluh pemuda itu.

“Jangan khawatir,” jawab Daeng, “Segalanya akan normal kembali. Tunggu saja beberapa hari ini. Kau akan kembali tenang dan bahagia.”

Pemuda itu gembira bukan main. “Jadi saya akan segera kembali kaya?”

“Bukan begitu maksudku. Kalu salah tafsir. Maksudku, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kau akan terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman.”

Mimpi Religius

Daeng sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Tidurlah mereka.

Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: “Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali.”

Yogi menukas, “Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai.”

Daeng berkata, “Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda ‘Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.’ Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga.”

Menjual Tangga

Daeng mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang tetangga memergokinya.

“Sedang apa kau, Daeng ?”

Daeng berimprovisasi, “Aku … punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual.”

“Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!” kata sang tetangga, marah.

Daeng bergaya filosof. “Tangga, bisa dijual di mana saja.”

Membalik Logika

Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Daeng mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.

Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Daeng segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Daeng membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.

“Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!”

“Aku tahu,” jawab Daeng acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.”

Manipulasi Deskripsi

Daeng kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Daeng tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.

Seseorang protes, “Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu.”

“Nah,” kata Daeng, “Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek.”

Konsistensi Umur

“Berapa umurmu, Daeng ?”

“Empat puluh tahun.”

“Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.”

“Aku konsisten.”

Kisah-Kisah Daeng dan Timur Lenk (Mukadimah)

Daeng turut mengalami pendudukan Bangsa Mongol di bawah panglima Timur Lenk yang kejam. Timur Lenk banyak sekali melakukan penghancuran kebudayaan, tetapi dengan berbagai kecerdikan, Daeng dapat melewati masa ini. Konon, antara lain berkat pengaruh Daeng pula lah akhirnya Timur Lenk meninggalkan tanah air Daeng, meneruskan pengembaraan barbarnya.

Keledai Membaca

Timur Lenk menghadiahi Daeng seekor keledai. Daeng menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,

“Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”

Daeng berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Daeng menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Daeng.

“Demikianlah,” kata Daeng, “Keledaiku sudah bisa membaca.”

Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?”

Daeng berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?”

Daeng menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”

Kekekalan Massa

Ketika memiliki uang cukup banyak, Daeng membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, “Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku makan di sini.”

Ketika malam itu Daeng pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.

“Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini ?”

Istrinya menjawab, “Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!”

Daeng pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup keras,

“Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?”

Keberhasilan Terhebat

Salah seorang murid Daeng di sekolah bertanya, “Manakah keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?”

“Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya,” kata Nasruddin.

“Apa itu?”

“Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Keadilan dan Kelaliman

Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama:

“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”

Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Daeng diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Daeng yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :

“Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”

Dan dengan menenangkan diri, Daeng menjawab :

“Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami.”

Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.

Jubah Hitam Kematian

Daeng berjalan di jalan raya dengan mengenakan jubah hitam tanda duka, ketika seseorang bertanya, “Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Daeng? Apa ada yang meninggal.”

“Yah,” kata sang Mullah, “Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu.”

Jatuh ke Kolam

Daeng hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Daeng orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Daeng berterima kasih berulang-ulang.

Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Daeng mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Daeng langsung melompat ke air.

“Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!”

Itik Berkaki Satu

Sekali lagi Daeng diundang Timur Lenk. Daeng ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Daeng sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Daeng membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.

Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Daeng, “Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu, Mullah ?”

“Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam.”

Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu.

“Lihatlah,” kata Daeng puas, “Di sini itik hanya berkaki satu.”

Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan.

Tapi Daeng tidak kehilangan akal. “Subhanallah,” katanya, “Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki jadi empat dan kemudian terbang juga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar