Sabtu, 20 Juni 2015

Yang Bukan Bid’ah (2)

Kerancuan Ketiga: Antara Bid’ah dan Niat Baik


Setelah melihat contoh-contoh mashalih mursalah di atas, mungkin saja terbersit kembali di benak seseorang: “Tapi kan aku niatnya baik…”


Jawaban:
Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.



Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimana kita jika dibanding dengan Nabi shalalllahu ‘alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”


Seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, maka aku akan sholat malam selama-lamanya.”


Yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan pernah buka.”


Dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya.”


Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari no 5063 & Muslim 1401)


Lihatlah kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. Namun, niat mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja mereka membenci sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena niat baik mereka tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Maka yang benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat semata, namun juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyad ketika menafsirkan firman Allah,


Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk. 2)


Beliau rahimahullah berkata, “Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” (Hilyatul Auliya’ : VIII/95. Lihat Membedah Akar Bid’ah)


Kerancuan Keempat: Antara Bid’ah dan Maksiat


Banyak orang menganggap seseorang melakukan bid’ah lebih baik daripada seseorang melakukan maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan bid’ah itu sudah dekat dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan amalan-amalannya. “Daripada mencuri atau minum minuman keras”, kata mereka.


Jawaban:
Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:


Pertama, karena telah banyak hadits yang menjelaskan bahayan bid’ah, padahal orang yang melakukan bid’ah tersebut menanggap mereka melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan yang sangat. Akan tetapi amat disayangkan, amalan mereka tidak diterima bahkan mendapat adzab dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang salah satu ciri mereka adalah sangat banyak beribadah,


“Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya…” (HR. Bukhari)


Kedua, kita ketahui orang yang melakukan maksiat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya terlarang dalam agama dan berdosa, sehingga ketika diingatkan mereka mengakui kesalahannya tersebut walau belum mampu meninggalkan maksiat yang dilakukannya. Berbeda dengan pelaku bid’ah, mereka menganggap bahwa amalan yang mereka lakukan adalah ibadah, apalagi mereka menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Sehingga jika diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya karena menganggap itu adalah sebuah kebenaran. Atau ketika menyadari bahwa itu adalah perkara yang baru dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan (bid’ah) yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah, padahal tidaklah maksud dari kata-kata tersebut melainkan mengatakan semua bid’ah adalah hasanah.


Contoh dalam masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia menyadari ada larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan dosa. Namun, jika seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka serta merta kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, “Masa baca Qur’an dilarang.”Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang seseorang membaca Al-Qur’an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan membaca surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah. Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,


“Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat.
Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya, sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.” (dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)


Kerancuan Kelima: Bid’ah Tarawih?


Satu lagi kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid’ah adalah ibadah sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan demikian, apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang beribadah sholat tarawih berjama’ah, ia berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”


Jawaban:
Sesungguhnya wahai saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,


عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله الله صلى الله عليه و سلم ، فلما أصبح قال: (قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم) قال وذلك في رمضان.


“Dari sahabat ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.” Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Sebenarnya dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih bukanlah bid’ah. Namun, untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka jawabannya bisa dari dua sisi:




  1. Maksud Umar adalah bid’ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama’ah tersebut belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.

  2. Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut bid’ah secara istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


كل بدعة ضلالة


“Seluruh bid’ah sesat…” (HR. Muslim 2/592)


Sungguh tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih mengikuti hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada artikel ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar hati. Allah Ta’ala berfirman,


“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).


Ingatlah pula, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bersabda,


Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR. Thabrani, sanadnya shahih).


Maka cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.


Maraji’:




  1. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar

  2. Membedah Akar Bid’ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al Kautsar cet ke-4 2005

  3. Ringkasan Al I’tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media Hidayah cet ke-1 2003


***


Disusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar


Artikel www.muslimah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar