Minggu, 21 Juni 2015

Percakapan Dua Mbah



Negeri ini pernah punya dua Mbah yang amat populer, Mbah Surip dan Mbah Marijan. Keduanya sudah kembali ke haribaan khaliqNya. Di alam “sana” mereka bertemu dan “bercengkerama”. Ini cengkerama (imajiner) mereka.
“Ha ha ha selamat datang Mbah Marijan, apa kabar dari negeri kita”, ujar Mbah Surip menyambut ruh Mbah Marijan dengan ketawa khasnya.
“E Surip, kita ketemu lagi. Kabar dari negeri kita semakin suram.
Bencana terjadi di sana-sini. Belum lama ini saja sudah ada tiga bencana lagi, di Wasior, di Mentawai dan di Jawa Tengah Merapi batuk-batuk. Anak Krakatau juga mulai mendengus. Gamalama juga sama, ikut Karangetan di Sulawesi Utara”.
“Ha ha ha tak gendong ke mana-mana, bencana di manamana, plesir ke mana-mana, enak yo mantep yo ha ha ha”.
“Lho Surip kok masih nyanyi Tak Gendong, malah ditambahi macam-macam. Yang plesir ke mana-mana itu siapa?” “Wah Mbah Marijan ini kayak nggak tau aja, yang plesir itu ya wakil rakyat. Katanya studi banding, pergi belajar tata krama di negeri orang. Rakyatnya di sini disembur wedhus gembel, digulung tsunami dilabrak banjir bandang, e malah pergi jalan-jalan”.
“Surip…Surip, ternyata kamu itu masih begitu-begitu juga. Tapi iya juga ya, masa sih ada wakil rakyat yang malah seperti ndak punya empati, rakyat sudah jadi korban bencana malah disalahin, kenapa tinggal di daerah yang rawan bencana. Itukan kata-kata yang tidak pantas dari orang yang mengaku wakil rakyat”.
“Ha ha Mbah Marijan yang kusayang, bukan kalimatnya yang tidak pantas, tapi orangnya yang memang tidak pantas jadi wakil rakyat. Orang seperti itu tidak bisa bilang I Love You Full pada rakyat. Ha ha ha”.
“Surip, kamu itu jangan terus-terusan ketawa saja. Saudarasaudara kita di sana masih dilanda bencana, kamu jangan senang-senang ketawa terbahak-bahak di sini. Yang prihatin dong, tunjukkan simpati pada mereka”.
“Ha ha ha Mbah Marijan yang bijak, ketawa saya ini bukan ketawa senang-senang. Ini model ketawa kebanyakan saudarasaudara kita. Ini ketawa yang dipaksakan walaupun menderita.
Kebanyakan saudara-saudara kita yang masih hidup di alam derita Indonesia kan begitu. Coba lihat mereka yang di penampungan itu, mereka masih tertawa sebab kalau sudah tidak tertawa apalagi yang dipunyai? Sudah menderita tidak punya tawa lagi”.
“Lha tertawa begitu kan hanya dibuat-buat, hanya untuk dilihat orang. Itu sandiwara namanya. Lha kita harus belajar dari Merapi itu, kalau dia marah ya marah, kalau senang ya senang”.
“Ha ha ha Mbah Marijan yang bijak, yang suka sandiworo itu kebanyakan bapak-bapaknya rakyat itu. Coba lihat waktu Pak Presiden mau berkunjung ke posko pengungsi, barulah ramai-ramai bantal dan kasur dibagikan, malah ada yang bawa spring bed. Tapi katanya bapak-bapak itu, nanti kalau Pak Presiden pulang, bantal dan kasurnya dibalikin lagi, ha ha ha mending tak gendong ke mana-mana, enak to mantep to?”.
“Sampeyan itu bener sekali Surip, bapak-bapak rakyat itu kelihatannya memang banyak yang suka sandiworo, jadinya malah bikin kacau. Lha alam pun ikut-ikutan kacau. Negeri berjalan ndak tau apa maunya. Aku pun jadi bingung dengan Merapi apa maunya”.
“Ha ha ha sudah deh Mbah, mari kita tinggalkan negeri sandiwara ini, biarkan orang-orang bersandiwara, mending Mbah Marijan tak gendong ke mana-mana, enak to mantep to”

“ee..ee.,tapi tunggu dulu lho !!,  masih ada teman kita di Kelud namanya juru kunci Mbah Ronggo, tetapi sayang dia tidak sepupuler dengan saya ” sakut Mbah Marijan sambil meloncat ke punggung Mbah Surip.

Wow ..berat amat kamu Mbah , jangan-jangan ada batu vukanik ikut terbawa dengan Mbah.” , Jangan samakan saya dengan koruptor lho !!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar