Minggu, 21 Juni 2015

Penyair Yang Cinta Tanah Air




Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ), Seorang Penyair Yang Cinta Tanah Air






Pada tiap tanggal 5 Go Gwee ( bulan Lima Imlek ), di dalam keluarga Konfusiani di bergai negara, biasa mereka berkumpul, melakukan sembahyang dan makan kue cang ( kue dari ketan yang dibungkus daun bambu ) dicampur manis-manisan.


Di tepi-tepi sungai atau sepanjang pantai, orang berkerumun melihat lomba perahu naga. Ketika genderang berbunyi, orang yang berlengan kuat mulai beraksi dan meluncurkan perahu ramping dengan kepala naga. Inilah festival perahu naga dan tokoh yang menyebabkan adanya festival ini ialah Khut Gwan ( Qu Yuan ), beliau lahir di Negeri Cho (Chu 楚 国) pada sekitar tahun 340 sebelum masehi, pada masa yang paling kacau dalam sejarah dinasti Ciu ( Zhou 周 1122 s.M – 255 s.M ) yang disebut  zaman perang antar negara.

Aku Lurus dalam bentuk dan garis keturunan

Pada suatu hari yang cerah ketika Khut Gwan ( Qu Yuan ) berumur lebih kurang 20 tahun, ia sedang melihat sebatang pohon jeruk di halaman rumahnya. Pohon jeruk itu jenis yang istimewa. Daunnya lebih hijau, bunganya lebih cemerlang, buahnya lebih manis daripada pohon jeruk lain yang sama jenisnya. Hal itu hanya dapat berhasil bila ditanam di tanah dan iklim Negeri Cho ( Chu 楚 国 ). Di cangkok dan ditanam di negeri mana pun, jenis pohon itu akan layu dan mati. Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) mengagumi pohon jeruk itu karena indahnya dan karena kesetiaannya terikat pada tanah airnya.

Seperti pohon jeruk itu, Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) merasa berakar dalam di negeri Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ). Para leluhurnya adalah termasuk di antara para pendiri Negeri Cho ( Chu 楚 国 ). Keluarga Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) adalah salah satu di antara tiga keluarga besar yang termasyhur di Negeri Cho ( Chu 楚 国 ).

Wajahnya yang cakap, sikapnya yang lemah-lembut, berwibawa dalam pembawaan, mencerminkan leluhurnya yang mulia terhormat. Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) seorang negarawan yang cerdas dan seorang ahli puisi. Pandai berbahasa dan cerdas, ia memperlajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi ( ilmu bintang ), ilmu bumi, sejarah, pertanian, hukum dan sastra.

Keluasaan pengetahuannya sesuai dengan perasaannya yang dalam. Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) mempunyai jiwa yang sensitif dan penuh semangat, berbudi luhur dan jernih, penuh dengan cita yang tinggi, terutama untuk negerinya yang sangat dicintainya.

Aku Ingin Melakukan Perbuatan Besar untuk Tanah Air dan Rakyatku

Kerajaan Ciu  ( Zhou 周 ) pada waktu itu terbagi menjadi tujuh negara  yang satu terhadap yang lain saling mengawasi dengan penuh ambisi dan kecurigaan. Tujuh negara itu ialah Negeri Yan, Cee, Thio, Gwi, Han, Cho dan Chien. Negeri Chien yang berkedudukan di wilayah Barat Laut ialah yang paling kuat dan agresif dan Negeri Cee yang di wilayah Timur ialah yang paling kaya dan makmur, sementara negeri Cho ( Chu 楚 国 ) yang berkedudukan di wilayah sekitar sungai Tiang-kang ( Yangzi ) ialah yang paling luas. Negeri Chien mempunyai pemerintahan dan angkatan perang yang paling efisien. Negeri Chien senantiasa menanti kesempatan untuk menaklukan negeri-negeri yang lain satu persatu.

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) mengajukan proposalnya kepada raja yang dengan senang menerimanya. Ia menugaskan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) menangani hal-hal yang menyangkut urusan dalam dan luar negeri. Ke luar, Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) harus berhasil menjalin persahabatan dengan negeri Cee, dan dalam hal ini ia telah menggunakan kemampuannya yang luar biasa. Ke dalam, ia harus membuat rencana undang-undang bagi era baru ini. Ia segera dapat menyiapkan rencana itu.

Kelihatannya, Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) seolah-olah akan berhasil merealisasikan programnya tetapi sayang, orang-orang rendah budi masuk menjegalnya.

Rajaku lebih mendengarkan para pengkhianat

Ada orang-orang di istana yang sama sekali tidak menyukai Khut Gwan (Qu Yuan 屈 原). Perubahan yang ditawarkan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) akan menghilangkan hak-hak istimewanya dan membuka kebusukan hatinya. Mereka juga cemburu terhadap bakat dan kepiawaian Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ). Karena kekurangan kebolehan dan integritas (kepercayaan diri), mereka membenci Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) yang memiliki kedua-duanya. Mereka yang munafik dan hanya mencintai diri sendiri, membenci Khut Gwan (Qu Yuan 屈 原) yang mencintai kebenaran dan tanah air di atas segalanya. Maka mereka membentuk komplotan untuk melawan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ).

Salah seorang dari mereka datang kepada raja dan berkata, “Tahukah baginda, apa yang disebarkan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) di istana ? Baginda dikatakan bahwa tanpa dia, baginda tidak dapat berbuat apa-apa, bahwa dialah satu-satunya orang yang mampu menegakkan hukum dan melaksanakan strategi politik yang efektif.”

Demikianlah mereka menjilat sang raja dan meracuni telinganya. Raja yang bodoh dan lemah mental itu dengan mudah diombang-ambingkan niatnya. Segera raja menurunkan kedudukan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) dan menjauhinya.

Komplotan orang-orang penjilat dan penghkhianat yang berpihak kepada negeri Chien karena mereka telah disuap oleh utusan Chien, mereka membujuk raja agar mau bersahabat dengan negeri Chien dan memutuskan hubungan dengan negeri Cee. Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) sangat menentang maksud itu. Tetapi saran kepada rajanya itu hanya seperti masuk ke telinga yang tuli.

Negeri Chien ternyata adalah kawan yang khianat. Negeri Chien banyak dan kian banyak mengambil tanah negeri Cho ( Chu 楚 国 ), lewat kekuatan senjata dan lewat tipu muslihat. Raja Cho ( Chu 楚 国 ) yang telah terbius oleh kata-kata manis para menterinya yang korup, tetap tidak dapat menyadari.

Suatu hari, Raja Negeri Chien mengundang Raja Cho ( Chu 楚 国 ) berkunjung ke negeri Chien untuk bermusyawarah. Raja Cho ( Chu 楚 国 ) ketika akan berangkat, Khut Gwan (Qu Yuan 屈 原) berteriak, “Jangan pergi, rajaku. Negeri Chien itu tanah harimau dan serigala. Negeri itu tidak dapat dipercaya. Baginda mungkin tidak akan pernah pulang.”

Seorang pembantu istana yang berpihak kepada negeri Chien cepat menyela, “Sangat tidak pantas menolak undangan yang bersahabat dari negeri tetangga kita. Dan lagi, ini adalah suatu tanda penghormatan besar untuk Baginda. Alangkah pencuriganya kamu!”

Maka Raja Cho ( Chu 楚 国 ) berkunjung ke negeri Chien dan tidak pernah kembali. Begitu raja Cho ( Chu 楚 国 ) melewati daerah perbatasan, ia ditahan dan tidak pernah kembali serta dipaksa untuk menandatangani persetujuan menyerahkan wilayah yang sudah diambil Negeri Chien. Ia menolak menandatangani dan akhirnya meninggal di Negeri Chien.

Para menteri Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) mengangkat raja baru yang lebih tidak berguna dibandingkan yang sebelumnya. Raja itu bahkan menghukum buang Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) ke wilayah pengasingan.

Lewat beberapa tahun, Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) kian lama kian menjadi lemah. Istana Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) pun kian kacau, dipenuhi dengan orang-orang yang hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri dan tidak mempunyai wawasan luas.

Aku berdiri sendiri, suci

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) sedih untuk raja yang telah meninggal. Ia lebih sedih untuk negeri dan rakyatnya. “Kemana tujuanmu, sayang? Engkau seperti kereta terbalik, meluncur kearah kehancuranmu sendiri.”

Jiwanya merana. Penderitaannya terungkap dalam sanjak-sanjaknya. Di dalam keputusasaannya, Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) menulis beberapa bait yang sangat menyentuh dalam sanjaknya. Sanjaknya yang terbesar ialah yang berjudul Li sao 离 骚 (menanggung kepedihan), sebuah karya yang mencerminkan harapan yang sangat sang penyair dalam mencari kebenaran dan keindahan.

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) tidak dapat menahan diri untuk bertanya diri sendiri :

Mengapa yang baik menderita ?

Mengapa yang jahat berjaya ?

Mengapa yang khianat mendapat kepercayaan ?

Mengapa yang penjilat justru mendapat hadiah ?

Mengapa yang setia justru dihempaskan ?

Mengapa yang jujur justru dihukum ?

Kakak perempuan Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) yang melihat keprihatinannya, menghibur dengan berkata, “Mengapa engkau mengasingkan diri ? Berbuatlah seperti yang lain kerjakan. Katakan kepada raja hanya apa yang baginda inginkan !”

“Aku tidak dapat, aku tidak mau!” teriak Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ). “Aku tidak mau melepuhkan lidahku dengan kebohongan. Aku tidak dapat menodai jiwaku dengan hal yang memalukan. Aku tidak dapat berkubang di dalam lumpur dan aku tidak dapat bersenang-senang bermabuk-mabuk bersama orang-orang itu. Aku akan berdiri sendiri, suci.”



Betapa aku dapat meninggalkan tanah airku ?

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) berdiam di tanah pengasingan. Kurus, kurang tidur dan dengan rambut yang tidak heran, ia berjalan mengembara di bawah bayang-bayang gunung yang menjulang dan sepanjang tebing sungai yang suara alirannya gemercik. Beberapa tahun Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) terlunta-lunta sampai ia tiba di tepi sungai Bik loo ( Mi luo ).

Dari jauh datang berita buruk. Pasukan Negeri Chien telah memasuki ibukota Cho ( Chu 楚 国 ). Raja beserta seluruh isi istana telah melarikan diri. Tentara Negeri Chien ada di seluruh  Cho ( Chu 楚 国 ). Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) melihat betapa rakyat menderita. Sawah ladang berubah menjadi ajang peperangan tiap malam. Para petani menjadi pengungsi sepanjang hari. Jeritan perang, jeritan kematian, jeritan kepedihan sampai ke telinga Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) dan menusuk hatinya.

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) tidak mendapat kesempatan menyelamatkan negerinya. Di istana tempatnya mengungsi. Sang raja masih bermabuk-mabukan seperti biasanya. Orang-orang durhaka di istana masih terus melakukan permainan yang berbahaya dengan menjilat dan berkhianat.

“Kamu manusia rendah budi! Apa yang telah kaulakukan terhadap rajaku ? Apa yang telah kau lakukan terhadap negeriku? Apa yang telah kaulakukan terhadap rakyatku ?”

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) dengan mata yang basah melihat aliran sungai Bik loo ( Mi Luo ) yang tanpa rasa kasihan itu. Ketika itu, beliau berusia 62 tahun, harapannya telah pudar, mimpinya telah punah, cita-citanya telah dikhianati.

“Terbang! Terbang!” terdengar suara bergema. “Ayo pergi ke negeri lain, mengabdi kepada raja yang lain. Kepiawaianmu akan bersinar ke mana-mana.”

“Ya, ya, aku akan pergi ke negeri lain dan melayani raja lain.” Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) naik menunggang kudanya yang cepat lari itu dan terbang ke negeri lain ketika ia melihat tempat sekitarnya dan menatap tanah negeri Cho ( Chu 楚 国 ) yang indah itu. Angin yang berdesir membawa bau harum jeruk yang sedang berbunga kepadanya.

“Bagaimana aku dapat meninggalkan tanah air ku!”

Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) melepaskan kudanya dan sebagai gantinya ia mendekap sebuah batu ke dadanya dan terjun ke sungai Bik Loo ( Mi Luo ).

Sebuah Legenda

Riwayat hidup Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) menjadi legenda. Katanya, ketika rakyat mendengar kematiannya, mereka dengan naik perahu mencari jasad Khut Gwan (Qu Yuan 屈 原). Ketika mereka gagal mendapatkannya, mereka menuang beras ke dalam sungai untuk roh Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ). Di Indonesia, sajian untuk menghormati roh Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) itu dibuat dari beras ketan yang dijadikan kue dibungkus daun bambu yang dinamai kue cang dan yang berisi daging dinamai bak cang, untuk lomba mencari tubuh Khut Gwan (Qu Yuan 屈 原) diselenggarakan lomba perahu naga atau pehcun.
Saat Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) menceburkan diri ke sungai Bik Loo ( Mi Luo ) itu bertepatan dengan saat upacara sembahyang Twan Yang ( Hari Sumber Kehidupan ), hari untuk mensyukuri rakhmat Tian untuk kehidupan di bumi ini yang jatuh pada tiap tanggal 5 Bulan 5 Imlek. Karena itu, tiap tahun pada hari itu digunakan pula untuk mengenang dan memperingati Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ), penyair besar yang berjiwa patriot, yang lebih memilih mati daripada meninggalkan tanah airnya.

“Seorang yang bercita menjadi siswa dalam cinta kasih / kebajikan, tidak inginkan hidup bila itu membahayakan cinta kasih. Bahkan ada yang mengorbankan dirinya untuk menyempurnakan cinta kasih itu.” ( Lun Yu XV : 9







Tidak ada komentar:

Posting Komentar