Minggu, 21 Juni 2015

Maulid Nabi SAW



Maulid Nabi SAW adalah sebuah kontemplasi transendental untuk “menyelaraskan” cahaya kenabian di dalam diri. Ia bukanlah perayaan kelahiran jasad sebagaimana umumnya dipahami oleh asumsi-asumsi dangkal seperti halnya acara ulang tahun. Ia berkaitan erat dengan makna terdalam dari syahadat dan sebuah fenomena “pemberontakan” ruhani untuk keluar dari sesuatu yang mengikat diri.

Adanya pembacaan sejarah kisah perjalanan Nabi SAW secara jasadiah yang tertulis dalam “Kitab-kitab Maulid Nabi SAW” semacam Maulid Barzanji, Maulid Diba’ie, Syarofil Anam, Syimthudhdhuror, dll, adalah sebuah proses pengambilan spirit untuk dicerap sehingga menjadi kebangkitan diri sendiri. Setiap diri dibawa setback untuk bersinergi dengan spirit kenabian tempo dulu. Ketika muncul kesadaran di dalam diri tentang hal ihwal perjuangan kenabian tempo dulu, maka diri akan terlahir dengan segala “kesan kenabian” beserta rasa kecintaannya kepada kebenaran yang dibawanya.

Mengetahui kebenaran sangatlah mudah, tetapi berkomitmen pada kecintaan akan kebenaran sehingga ia menjadi semacam “aliran darah” tidaklah semudah mengetahuinya. Barangkali bisa kita deskripsikan dengan kategori antara pengajaran (ta’liim) dengan pendidikan (tarbiyah). Pengajaran adalah proses pengisian akal tentang kebenaran dan cara berpikir benar, tetapi tarbiyah adalah sebuah “pelatihan” untuk mencerap kebenaran itu sehingga ia menjadi sebuah sikap dan perbuatan. Memahami kenabian tidak cukup dengan hanya mempelajari sejarahnya hingga kita “pintar” dan mengetahui bagaimana seorang nabi selama 23 tahun menyampaikan risalahnya. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, bagaimana sejarah yang diketahui itu menjadi spirit sehingga diri ini “bangkit” dan menjadi sosok yang “mewarisi” kenabian.

Secara spiritual, nabi adalah suatu pantulan cahaya Tuhan sehingga pantulanNya itu memancar ke seantero alam semesta. Ia membentuk hukum-hukum kejadian alam semesta dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Karena itu, nabi tetap hidup seiring “hidup” nya alam semesta termasuk makhluk manusia. Ia dijuluki sebagai nurul ‘aini (cahaya mata) yang tanpanya, mata ini tidak bisa melihat. Ia juga menjadi entitas yang mesti disaksikan sebagai implikasi logis dari iman kepada Allah.

Jika kita telaah bunyi syahadat (“aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”), maka akan nampak bahwa kesaksian kepada Allah akan serta merta mengimplikasikan kesaksian akan utusanNya (syahadat tauhid, syahadat rasul). Salah satu diantara keduanya tidak bisa dibuang. Kesaksian kepada Allah adalah kesadaran akan nurNya yang memantul pada rasulNya. Hal ini hanyalah sekedar deskripsi pemahaman, bukan kongklusi imajinasi yang seolah hanya cukup dengan memahaminya belaka. Karena itu, syahadat sangatlah berkaitan erat dengan kemantapan iman yang “menancap” di dalam diri sendiri. Sekali lagi saya katakan, berkaitan dengan iman (bukan pengetahuan). Pengetahuan dan pemahaman akan muncul dari pancaran iman.

Karena kesaksian rasul berkaitan dengan iman, maka hakekat rasul berada dalam suatu kesadaran yang “dipancarkan” dan tak mengenal akan kematian (langgeng dantak kena kinaya ngapa). Pancaran itulah pantulan dari cahayaNya. Kesaksian itu muncul berangsur-angsur seiring perjalanan manusia dalam membuka tabir kebenaran yang menutupi dirinya. Ingat, kesaksian diri terhadap rasul-lah yang muncul berangsur-angsur, bukan rasulNya. Karena diri yang tidak bersaksi pun tetap saja merupakan realitas dari pancaran rasulNya, yang tidak lain adalah pancaranNya. Intinya adalah kesaksian.

Nah, maulid nabi adalah sebuah upaya untuk bisa membuka tabir kebenaranNya melalui spirit kenabian. Prototipenya ada pada sosok jasadi Nabi Muhammad SAW sekitar 15 abad yang lalu yang diberi nama Ahmad Musthofa bin Abdullah. Pancarannya tetap hidup hingga saat ini dan menyempurnakan sikap dan perbuatan yang dilahirkan oleh prototipe-prototipe baru (li-utammima makaarimal akhlaq).

Maulid nabi sangat penting, karena berkaitan erat dengan perjalanan hidup setiap orang yang membangun nilai dari sikap dan perbuatannya. Pengalaman hidup setiap orang merupakan “jejak-jejak kenabian” yang mesti dibaca dan dipahami melalui cahaya kenabian itu sendiri. Tanpanya, “jejak-jejak kenabian” itu tak kan bisa menjadi eskalator untuk bisa bersaksi. Mengapa? Sebab kesaksian itu oleh cahaya kenabian juga (nurul’ain), bukan oleh subyek atau entitas yang berdiri sendiri. Cahaya kenabianlah yang menyempurnakan sikap dan perbuatan (itmaamu makaarimil akhlaq). Pengetahuan yang muncul dari pengalaman tidak akan sah menjadi nilai yang sempurna sehingga ia disebut sebagai akhlaq jika tidak dipondasikan pada tujuan akan kesaksian. Perhatikan spiritnya…

Ada sebagian orang yang antipati terhadap perayaan maulid nabi. Mereka menghukumkannya sebagai bid’ah atau mengada-ada. Karena Rasulullah (konon) tidak pernah mengajarkan atau menunjukkan itu. Mereka menyebutnya sebagai meniru atau menyerupai suatu ajaran agama tertentu sehingga secara ekstrim bahkan mereka mengharamkannya. Padahal yang dimunculkan dari tradisi yang sudah mengakar itu adalah spirit dari ajaran-ajaran luhur yang tersirat pada sejarah perjalanan kenabian. Karena itu, makna maulid tidak semata-mata merujuk pada kelahiran nabi secara jasadi, tapi lebih menitikberatkan pada spirit perjalanan kenabiannya. Lebih bersifat ruhaniyah, bukan jasadiyah.

Segala persoalan hidup yang menghinggapi setiap manusia telah membuat manusia telah kehilangan pandangan akan cahaya kenabian. Mereka hanya mengambil kesimpulan akhir secara ijmali (general) bahwa semua yang ada hanyalah Allah yang mencipta (titik). Hah, sebuah keimanan yang tidak bereskalasi kepada kesadaran akan syahadat (kesaksian). Ingat, bahwa syahadat itu adalah kesaksian, bukan pengakuan. Ia benar-benar sebuah kesaksian yang membeberkan kejadian alam semesta secara rinci (tafshili) yang membawa pada kesadaran hakekat Wujud.

Bahwa Wujud Haqq hanyalah Allah. Bagaimana mungkin konsep dasar tauhid ini bisa dipahami, jika tidak dicapai melalui kesaksian akan kejadian alam semesta secara rinci. Pada sisi ini, sains telah membeberkannya berdasarkan observasi-observasi inderawi yang rentan terhadap kebuntuan akan adanya Sang Pencipta. Bahwa materi telah disimpulkannya sebagai wujud. Weleh-weleh…, padahal si materi itu sendiri tak ‘kan bisa dilihat dan disebut sebagai materi jika kedua mata ini tidak dipantulkan cahaya. Artinya, ketergantungan mata terhadap cahaya adalah sebuah indikasi adanya keterhubungan yang saling mengikat satu sama lain. Keterhubungan itu begitu sangat detil dan teratur. Lalu hanya dengan mengandalkan indera, materi itu telah meniadakan materi lain yang belum terindera. Dan disebutnya bahwa materi yang tidak terindera itu sebagai immateri, yang disimpulkannya sebagai tiada. Ini adalah kebuntuan sains yang hanya mengandalkan keterbatasan indera.

Spektrum berpikir secara imani tidaklah sekasar itu. Bahwa cahaya mata jasadi adalah sebuah mekanisme hukum kausalitas sehingga materi menjadi terindera. Bukan cahayanya yang nampak, tapi materinya. Pantulan cahaya telah menampakkan segala materi bagi mata sehingga otak sebagai memori penglihatan telah menyimpannya sebagai “gambar materi”. Padahal materi dan “gambar materi” keduanya sangatlah tergantung dari cahaya. “Gambar materi” di dalam otak juga dimunculkan oleh cahaya. Cahaya itu tidak bisa dilihat, karena tidak ada entitas lain yang melihat kecuali justru Dia-lah yang melihat melalui teropong utusanNya. Pada sisi ini, kesaksian tidaklah menimbulkan dua subyek atau banyak subyek, tetapi mekanisme melihatNya telah digradasikan sehingga seperti manusia yang melihat. Dan itu bukan hanya melihat, termasuk juga mendengar, berbicara, menggenggam, meliputi, memaksa, mengatur, dst., yang terangkum dalam al-Asma al-Husna. Kesaksian adalah awal memasuki sebuah kesadaran universal akan kejadian alam semesta sampai sedetil-detilnya. Dan ternyata bahwa materi itu adalah ketiadaan yang ditetapkan oleh AdaNya (Wujud Haqq). Ini makna bahwa ketiadaan itu adalah Laa ilaaha yang ditetapkan oleh illaa Allah. Dalam konsepnya disebut dengan nafi itsbat(penafian dan penetapan).

Perayaan “Maulid Nabi” merupakan spirit untuk memahami kejadian alam semesta melalui kalimat syahadat. Kelahiran Muhammad yang dimaksud dalam perayaan “Maulid Nabi” adalah kemunculan cahaya kedua mata (Nurul’ain), yakni mata langit dan mata bumi. Dari situlah syahadat menjadi sah sebagai kesaksian (bukan ucapan) yang menentukan keabsahan shalat, zakat, puasa, dan haji.

Kecintaan terhadap Nabi adalah realitas dari merembesnya cahaya di dalam aliran darah kita. Cahaya itu menghempaskan segala macam kesan-kesan memori otak (yang tiada itu) yang “dapat menutup” kesadaran akan penglihatanNya. Keabsahan ilmu yang didapat dari belajar sehingga dapat membentuk kepribadian kita adalah “kendaraan” (baca: syafa’at) untuk kembali kepadaNya dengan selamat. “Energi Cahaya” yang telah berubah menjadi “energi” sikap dan gerak yang berakhlaq telah menjadi kode etik untuk sampai kepadaNya.

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. (an-Najm : 1-8)

Wallahu A’lam bishshawab.

alHajj Ahmad Baihaqi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar