Jumat, 19 Juni 2015

Malam Laylatul Qadar



Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat istimewa. Salah satu keistimewaannya adalah dengan diturunkannya satu malam qadri (berkah) oleh Allah swt, “Lailatul Qadri Khairun min Alfi Syahr; Malam berkah itu lebih baik daripada seribu bulan” (Qs Al-Qadr: 3). Malam qadar ini kemuliaannya hanya dibatasi pada satu malam saja. “Tanazzalul Malaikatu war Ruhi fi ha bi idzni Rabbihim min kulli Amr; Malam itu, para malaikat dan ruh turun dengan izin Tuhan mereka untuk menentukan segala urusan” (Qs Al-Qadr: 4).
Malam ini juga merupakan malam keselamatan “Salamun hiya hatta mathla’il fajr; Malam itu (penuh) dengan keselamatan hingga terbit fajar” (Qs Al-Qadr: 5). Sebagian masyarakat awam memiliki pandangan seputar tanda-tanda dari Lailatulkadar, antara lain pohon- pohon bersujud, binatang-binatang tidak berbunyi, gunung-gunung menahan napasnya serta beberapa pandangan serupa yang sebenarnya justru mengecilkan makna Lailatulkadar itu sendiri.
Dalam sebuah situs http:// maramissetiawan.wordpress. com/2008/09/19/tanda-tandamalam- lailatul-qadar-dan-koreksi- terhadapnya/dijelaskan bahwa Rasulullah pernah mengabarkan tentang tanda-tanda Lailatulkadar, yakni:
(1) Udara dan suasana yang tenang. Ibnu Abbas berkata: Rasulullah bersabda: “Lailatulkadar adalah malam tenteram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadis hasan).
(2) Cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat (terik) keesokannya, dari Ubay binKa’ab bahwasanya Rasulullah bersabda: “Keesokan hari malam lailatulkadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim).
(3) Terkadang terbawa dalam mimpi. Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi.
(4) Bulan tampak separuh bulatan, Abu Hurairah pernah bertutur “Kami pernah berdiskusi tentang Lailatulkadar di sisi Rasulullah, beliau berkata, “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul dengan ukuran separuh nampan?” (HR Muslim).
(5) Malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak ada hujan, tidak ada angin kencang dan meteor pada malam itu. Sebagaimana sebuah hadis dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah “Lailatulkadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (meteor)” (HR at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan).
(6) Orang yang beribadah  pada malam tersebut merasakan kelezatan ibadah, ketenanganhati dan kenikmatan bermunajat  kepada Tuhan melebihi malam-malam lainnya.
Begitulah kira-kira sebagian kecil dari tanda-tanda Lailatulkadar yang sempat penulis kutip dalam tulisan ini. Sejumlah pandangan lain tentang tanda-tanda Lailatulkadar tentu jauh lebih beragam, namun keterbatasan wilayah tulisan dalam ruang artikel ini tentulah menjadi lahan sempit untuk membahas sedikit tentang tanda-tanda tersebut.

Barsihannor:
Lailat al-qadar tidak mesti harus dicari dan diburu. Bagi orang-orang yang telah mempersiapkan diri dan membersihkan jiwanya, cukup baginya menanti kedatangannya di manapun dia berada, sebab lailat al-qadar akan mengunjungi mereka yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri, bukan sebuah persiapan instan.

Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah, karena di dalamnya mengandung tiga keutamaan yaitu rahmah (kasih sayang), magfirah (ampunan) dan itqun min an-nar (pembebasan dari siksa api neraka). Di samping itu, ada lagi keistimewaan Ramadan yang tidak dimiliki bulan lainnya, yaitu turunnya lailat al-qadar; malam yang menurut Alquran lebih baik dari seribu bulan (QS al-Qadr; 1-5).

Atas dasar ini, tidak heran banyak umat Islam berlomba-lomba “mencari atau mengejar” malam lailat al-qadr dengan cara memperbanyak ibadah semalam suntuk, terutama di malam-malam ganjil akhir bulan Ramadan. Ada yang melakukan tadarrus, salat malam, iktikaf di masjid, dan lain-lain.

Bagi yang mampu, mereka berlomba-lomba pergi umrah ke tanah suci Mekah dengan niat mendapatkan malam lailat al-qadar. Karena itu, tidak heran jumlah jemaah umrah di pengujung Ramadan hampir menyamai jumlah jemaah di musim haji. Biro perjalanan pun menjadi laris manis menawarkan paket “Umrah Ramadan, atau Umrah Lailat al-Qadar”.

Di samping mendapatkan seratus ribu kali pahala salat di Masjid al-Haram dibanding masjid di luar tanah suci, mereka juga berharap mendapatkan malam kemuliaan tersebut dengan perbandingan pahala seribu bulan, atau setara beribadah selama kurang lebih 83 tahun di tanah air.

Meski demikian, ada hal yang penting untuk direnungkan bahwa simpul ibadah dan keimanan seseorang terletak pada akhlak. Semua ritualitas ibadah yang diajarkan Rasulullah saw berujung pada upaya pembentukan karakter mulia sebagai esensi dari akhlak al-karimah. Nabi Bersabda; Orang yang paling baik imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya (HR Bukhari).

Dengan demikian, seberapapun jumlah (kuantitas) pahala yang dijanjikan Allah kepada seorang hamba yang beribadah (ritual), akan selalu dikali (sebagai ukuran) dengan nilai akhlak yang tercermin dalam kehidupannya. Artinya jika pahala ibadahnya seratus ribu, tetapi akhlaknya dinilai Tuhan nol (0), maka bisa jadi 100.000 x 0 = 0.

Itulah sebabnya Allah mengancam orang salat dengan neraka Wail (QS al-Maun;1-7) disebabkan salat yang mereka kerjakan tidak mampu menghasilkan akhlak mulia, seperti; kejujuran, keadilan, damai dan kepedulian kepada sesama.

Dalam perspektif sejarah, malam qadar yang pernah ditemui Nabi Muhammad saw untuk pertama kalinya adalah ketika beliau ber-tahannus (merenung dan menyendiri) di Gua Hira. Puncaknya di malam 17 Ramadan, di saat Nabi mencapai titik kesuciannya, maka turunlah Jibril (ruh al-qudus) membawa ajaran yang kemudian membawa perubahan total dalam perjalanan hidupnya dan peradaban manusia di atas muka bumi ini.

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah setiap orang yang mencari atau mengejar lailat al-qadar tanpa bekal spiritual yang memadai pasti mendapatkannya? Apakah ia masih datang di setiap bulan Ramadan? Ataukah ia hanya menjadi sebuah peristiwa sejarah yang tidak akan berulang kembali?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.

Sebagian ulama, di antaranya Ibn Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadis, menganggap lailat al-qadar sudah tidak turun lagi seiring berhenti (purna) turunnya wahyu (Alquran). Akan tetapi, sebagian ulama yang lain masih mempercayai bahwa malam kemuliaan itu selalu hadir di setiap bulan Ramadan. Hal itu didasarkan pada sejumlah hadis Nabi yang menginformasikan tentang datangnya malam kemuliaan tersebut.

Menurut Quraish Shihab (2005) lailat al-qadar disebut juga malam kemuliaan disebabkan tiga hal. Pertama, di malam itu Allah menetapkan perjalanan hidup manusia baik sebagai individu maupun kelompok.

Kedua, di malam itu Alquran juga diturunkan sebagai titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Ketiga, malam itu malaikat memenuhi bumi, sehingga bumi seakan menjadi sempit, mereka datang membawa kedamaian.

Ketiga makna di atas menurut Quraish Shihab pada hakikatnya dapat menjadi benar karena malam tersebut adalah malam kemuliaan yang bila didapat maka Allah akan menetapkan masa depan manusia dengan penuh kemuliaan, dan kedamaian. Bagi mereka yang mendapat lailat al-qadar, bisikan halus dari malaikat akan senantiasa menghiasi kehidupan pribadinya, sehingga bisikan setan tidak mampu menyelinap di dalam relung-relung jiwanya.

Menanti bukan Mencari

Siapakah orang yang akan mendapatkan kemuliaan dengan kehadiran lailat al-qadar? Lailat al-qadar merupakan tamu istimewa lagi agung. Kehadirannya selalu dinanti bahkan dikejar dan dicari. Ia merupakan cahaya kemuliaan yang menentukan perjalanan kehidupan manusia.

Karena ia merupakan tamu agung, maka tentu tidak semua orang dapat dia kunjungi. Kehadirannya pun hanya di bulan Ramadan, bukan di bulan lain.

Bahwa Allah memilih Ramadan sebagai waktu turunnya lailat al-qadar bukan tanpa alasan. Ramadan merupakan bulan penyucian jiwa. Ramadan merupakan bulan yang memberi ruang bagi umat Islam untuk melakukan penyucian jiwa melalui proses takhalli (proses mengosongkan diri dari kecenderungan buruk yang bercokol di dalam jiwa),

dan tahalli (mengisi dan menumbuh-kembangkan potensi kebaikan yang terdapat pada diri manusia sehingga menjadi nilai-nilai akhlak yang mulia).

Di bulan ini pula umat Islam disuruh memperbanyak infak dan sedekah kepada fakir-miskin dan mereka yang membutuhkan sebagai proses penyucian diri (QS al-Taubat; 103), bahkan Rasul menjanjikan bagi mereka yang perpuasa dengan keimanan dan kesungguhan akan kembali sucfi (fitrah) sebagaimana layaknya bayi yang baru lahir dari rahim ibunya (HR Turmuzi).

Atas dasar ini, kita bisa memahami mengapa Nabi mengisyaratkan bahwa lailat al-qadar kemungkinan besar hadir di pertengahan atau sepuluh terakhir bulan Ramadan (HR Bukhari). Karena, ketika itu jiwa manusia yang berpuasa dengan keimanan dan sungguh-sungguh selama 15-20 hari sebelumnya, telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan hadir menemuinya.

Menurut Quraish Shihab, apabila jiwa telah siap, manusia sudah mulai mendekati titik fitrahnya, dan kesadaran telah mulai bersemi, maka lailat al-qadar akan datang menemuinya. Ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar (penentu) bagi sejarah perjalanan kehidupannya di masa-masa mendatang.

Bagi yang bersangkutan, saat itu merupakan titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat, dan sejak saat itu, malaikat akan senantiasa menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupan yang baru kelak di kemudian hari.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis beranggapan lailat al-qadar tidak mesti harus dicari dan diburu. Bagi orang-orang yang telah mempersiapkan diri dan membersihkan jiwanya, cukup baginya menanti kedatangannya di manapun dia berada, sebab lailat al-qadar akan mengunjungi mereka yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri, bukan sebuah persiapan instan.

Begitu agung dan mulianya lailat al-qadar tersebut, sehingga menurut Quraish Shihab, bukan saja mereka yang pada malam itu terjaga (tidak tidur) semalam suntuk menanti kehadirannya untuk mendapatkan kunjungan, tetapi juga mereka yang pada saat itu tertidur tetapi sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut kedatangannya. (*)

Wahyuddin Halim
Lailatulkadar sejatinya bukan lagi momen yang ditunggu melainkan dijemput. Karenanya, bisa kapan saja alias tidak harus di likur terakhir Ramadan. Sebab, lailatulkadar bukan lagi soal ruang dan waktu tapi kehendak dan tindakan.

“Suka atau tidak,” kata F Schuon (1992), “hidup kita dilingkupi oleh misteri-misteri yang secara logis dan eksistensial mengantar kita menuju transendensi.” Lailat al-qadar atau lailatulkadar adalah salah satu misteri dalam kehidupan muslim yang juga dapat membawa kepada transendensi.

Karena merupakan misteri, peluang interpretasi tentang waktu, makna, dan hakikat peristiwa itu selalu terbuka. Para ulama pun telah menulis ribuan buku yang mengurai misteri ini.

Maka tiap Ramadan tiba, lailatulkadar menjadi sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu kaum muslim. Alquran menyebut malam ini lebih baik daripada seribu bulan. Dengan seizin Allah, para malaikat dan ruh (jibril) turun ke bumi, mengatur segala perkara. Kedamaian pun tercipta hingga fajar menyingsing (al-Qadar: 3-5).

Dalam penjelasan klasiknya, orang yang kebetulan beribadah di saat turunnya lailatulkadar akan memperoleh banyak anugerah dan megabonus pahala. Nilai ibadah mereka yang terjaga persis di momen kedatangannya disebut setakat dengan ibadah selama seribu bulan.

Doa-doa yang dipanjatkan juga akan dikabulkan Allah, terutama permohonan ampunan atas dosa-dosa di masa silam.

Namun karena saat pasti lailatulakadar turun tetap menjadi misteri, kaum muslim kerapkali lebih memilih sikap pasif sembari berharap bisa sontak atau kebetulan terjaga lalu bangkit beribadah di malam mulia itu.

Ia lantas jadi semacam peruntungan atau bahkan perjudian juga. Menurut sejumlah hadis, peristiwa itu biasanya terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh likur terakhir Ramadan. Maka kebanyakan muslim pun baru berupaya menggiatkan ibadah ritual pada malam-malam itu.

Menurut Prof Quraish Shihab (1996: 539), dari segi bahasa, qadar bisa berarti mulia, sempit, dan ketetapan. Disebut mulia, karena di malam itu Alquran diturunkan. Sempit karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi saat itu. Dan malam ketetapan, karena pada malam itu Tuhan menetapkan sesuatu berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

Abdullah Yusuf Ali (1988), memaknai lailatulkadar sebagai momen pencerahan (moment of enlightenment) karena ia mengubah malam kegelapan jiwa menjadi kecemerlangan spiritual dalam diri manusia yang mengalaminya. Ia menghalau kegelapan hidup manusia akibat kebodohan dalam menghadapi segala urusannya.

Lailatulkadar mentransendensikan waktu dalam pengertian normal. Menurut sejumlah ahli tafsir, angka seribu di sini tak mesti merujuk kepada satu ukuran waktu tertentu, tetapi pada suatu periode masa yang sangat panjang.

Malam tersebut juga tidak merujuk pada gagasan kita tentang ukuran waktu berdasarkan rotasi bumi, tapi pada “Waktu yang tak bermasa”. Pemahaman seperti ini menyelesaikan paradoks tentang ketidakmungkinan lailatulkadar terjadi pada seluruh penduduk bumi pada saat bersamaan. Bukankah ketika malam menyelimuti satu belahan bumi, belahan lainnya justru sedang bermandikan sinar mentari.

Karena itu, lailatulkadar sesungguhnya adalah peristiwa yang terjadi pada tataran metafisik. Ia melintasi konteks ruang dan waktu. Ia tidak terjadi di ranah makrokosmik (semesta) tapi mikrokosmik (diri manusia).

Pada tataran ini, peralihan malam dan siang tidak lagi relevan. Secara fisikal mungkin ada jutaan orang yang sengaja terjaga persis saat agung itu terjadi, misalnya karena iktikaf di masjid atau begadang di warung kopi.

Namun, yang mampu secara sadar merasakan kedatangannya hanyalah mereka yang telah melakukan pendakian berat hingga ke tataran metafisik, melampaui kediriannya, atau mengalami transendensi lewat upaya kontemplatif yang intens dan konsisten.

Ketika malam kegelapan spiritual seseorang disibakkan oleh cahaya keagungan Allah, muncullah perasan damai luar biasa dalam jiwanya. Dan sekali seseorang telah merengkuh anugerah ini maka sejak itu seluruh dimensi hidupnya akan mengalami transformasi hingga saat peralihan ke dunia baru menjelang, yaitu kematian jasmaniah di dunia-material sebelum memasuki alam barzakh.

Dengan begitu, kegelapan jiwa berubah menjadi kecemerlangan spiritual, yang akan menerangi dan mewarnai segenap etape perjalanan hidup berikutnya, yang mungkin akan berakhir setelah seseorang berusia seribu bulan atau 83 tahun.

Sebagai momen pencerahan, lailatulkadar membekali seseorang dengan visi yang lebih terang tentang masa depan. Laksana menemukan seberkas cahaya di ujung lorong gua waktu yang panjang dan gelap.

Dalam perspektif ini, lailatulkadar jelas bukan sesuatu yang gratis dan aksidental (kebetulan). Atau anugerah yang sontak mendatangi seseorang yang tak pernah sama sekali mempersiapkan diri secara spiritual untuk itu.

Juga bukan awal dari upaya pencerahan atau transformasi diri. Ia justru akhir dari perjuangan seseorang sepanjang hayatnya dalam mengasah kecemerlangan jiwanya tahap demi tahap, lewat upaya pematangan intelektual, penyucian moral, dan penajaman spiritual.

Dengan kata lain, lailatulkadar adalah semacam wisuda atau malam inaugurasi dari Allah, diwakili para malaikat yang dipimpin Jibril, yang turun ke bumi, sebagai pengakuan dan penghargaan Allah atas upaya berat dan ajeg seorang hamba dalam mentransformasi diri dan mencari pencerahan.

Allah menyatakan takkan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri (Ar-Ra’d: 11). Kata “apa” (ma) dalam ungkapan ‘ma bi anfusihim’ di sini sesungguhnya merujuk pada unsur rohaniah dalam diri manusia (‘aql, qalb atau ruh).

Unsur inilah yang terutama membuat manusia tetap manusia, yang sekali ia berubah, maka totalitas kemanusiaannya pun akan berubah. Inilah yang disebut sebagai reformasi teologis atau perubahan paradigma (paradigm shift). Menurut Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan, “Pembaharuan itu selalu dimulai dari perkara teologis.”

Tanpa perubahan dalam dimensi ini lebih dulu, seseorang mustahil melakukan transformasi dan transendensi hidup secara total. “To be human,” kata Hossein Nasr (1986), “is to know and also to transcend oneself” (Menjadi manusia berarti mengetahui dan mentransendensikan diri).

Oleh karena itu, untuk merengkuh lailatulkadar diperlukan persiapan secara sadar dan sabar lewat upaya penyucian jiwa yang dibarengi latihan spiritual yang berat jauh sebelum Ramadan tiba. Dengan cara begini, lailatulkadar bukan lagi sebuah momen yang harus ditunggu-tunggu, tapi dijemput. Ia juga taklagi harus ditunggu hanya di likur terakhir Ramadan, tapi kapan saja. Sebab ia bukan lagi soal ruang dan waktu, tapi kehendak dan tindakan. (**)

1 komentar: