Minggu, 21 Juni 2015

Mahar ( maskawin )



Mahar atau maskawin, kata Shaleh bin Ghanim As-Sadlan dalam buku Mahar & Walimah, merupakan satu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesuciannya. Maka mahar merupakan keharusan tanpa boleh ditawar oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.

Mahar disebut juga dengan istilah yang indah, yakni shidaq. Shidaq berarti kebenaran. Mahar menunjukkan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih laki-laki yang meminangnya. Ia merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya untuk menjadi suami bagi orang yang dicintainya. Mahar bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Namun ia membuktikan kebenaran kesungguhan, cinta, dan kasih-sayang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan mahar.

Jadi, makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan lebih dekat kepada syari’at agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar adalah syarat sahnya sebuah perkawinan. Juga, sebagai ungkapan penghormatan seorang laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Memberikan mahar merupakan ungkapan tanggung-jawab kepada Allah sebagai Asy-Syari’ (Pembuat Aturan) dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti kehidupan berumahtangga.

Kelak, mahar merupakan aspek penting yang banyak memberi pengaruh apakah sebuah pernikahan akan barakah atau tidak. Kita telah membaca beberapa hadis Nabiberkenaan dengan hal ini di awal bab. Oleh karena itu, saya tidak membahasnya lagi. Saat ini, kita lebih baik melanjutkan pembahasan kita mengenai berbagai hal dalam masalah mahar.

Sebaik-baik Mahar

Ada kenangan indah dalam sejarah. Tak hanya orang-orang di zaman Rasulullah yang terkesan. Orang-orang yang hidup jauh sesudah Rasulullah tiada, masih sering menyebut-nyebut dengan penuh penghormatan. Perjalanan hidupnya banyak yang diabadikan oleh Al Qur’an dan Al-Hadis. Keturunannya menambah keharuman Islam. Sebuah pernikahan yang benar-benar penuh barakah.

Mengenai pernikahannya, Tsabit berkata, “Belum pernah aku mendengar mahar yang lebih mulia daripada mahar Ummu Sulaim. Ia hidup rukun bersamanya dan  melahirkan anak.”

Apa mahar Ummu Sulaim? Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Zadul Ma’ad sebagaimana disebut dalam Mahar & Walimah, mencatat: …. Dan dalam Sunan An Nasa’i bahwa Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim lalu berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang seperti Anda tidak akan ditolak (melamar wanita), akan tetapi Anda seorang kafir, sedangkan saya seorang Muslimah. Tidak halal bagiku untuk kawin dengan Anda.

“Namun jika Anda masuk Islam, maka yang demikian dapat menjadi maharku. Saya tidak meminta selain itu.”

Kemudian Abu Thalhah masuk Islam dan masuk Islamnya itu merupakan maharuntuk Ummu Sulaim.

Saya tidak tahu, apakah ada seorang mukminah dengan aqidah yang betul-betul kuat meminta mahar seperti mahar Ummu Sulaim. Kita tidak tahu, adakah wanita- wanita di masa sekarang yang bertindak seperti Ummu Sulaim.

Saat ini, banyak wanita muslimah yang bersedia menikah dengan pemuda non-muslim setelah pemuda itu menyatakan masuk Islam. Tetapi, tidak sedikit Muslimah-muslimah kita masih sangat kurang dalam agamanya dan sedikit sekali pengamalannya. Masuk Islamnya calon suami, agak tragis, sering sekedar legitimasi atau malah strategi untuk mendapatkan pengesahan sebagai suami-istri. Kelak, sesudah punya anak satu, suami itu kembali ke agama semula. Sementara itu wanitanya memiliki dua alternatif pilihan saja: bercerai dengan suami dan anaknya,atau bercerai dengan Islam yang telah menjadi agamanya sejak bayi.

Ada yang bisa kita catat dari kisah agung pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah. Kita mencatat bahwa mahar dapat menjadi dakwah. Mahar menjadi pengikat kasih-sayang sekaligus untuk syi’ar Islam.

Barangkali untuk tujuan ini, kita mendapati banyak orang memberikan mahar kepada istrinya berupa mushaf Al Qur’an dan mukena. Jika ini tujuannya, kita dapat bertanya kembali, apakah mahar jenis ini masih mempunyai kekuatan untuk menegakkan syi’ar Islam ketika yang demikian ini telah menjadi tradisi dan orang-orang di sekeliling kita sudah banyak yang menggunakan mukena.

Apalagi, kita juga mendapati bahwa mahar yang seperti ini tidak jarang sekedar sebagai basa-basi formal. Basa-basi sosial atau religi. Sedangkan mahar yang sesungguhnya, bukan itu. Di atas kertas, mahar yang disebutkan pada saat akad adalah mushaf Al Qur’an dan seperangkat alat shalat. Tetapi di belakangnya, ada sejumlah mahar yang atas pertimbangan sosial tidak dinyatakan saat itu, tetapi disebar berita pada saat lain.

Jika ini yang terjadi, saya khawatir mahar tersebut tidak menjadi syi’ar Islam.

Hari ini, kita merasakan itu. Mahar yang dekat dengan nafas agama itu, justru tidak membuat kita bergetar. Tidak membuat darah kita berdesir terkesiap karena tertegun oleh keagungannya, di balik yang tampak bersahaja.

Saya khawatir, mahar yang demikian bukannya menjadi syi’ar, jika di belakangnya ada yang tidak ditampakkan atas alasan-alasan basa-basi sosial. Jangan- jangan tindakan ini mengandung unsur kebohongan, sehingga pernikahan justru menjadi tidak barakah. Wallahu a’lam bi shawab.

Apakah mahar berupa mushaf Al Qur’an tidak bisa menjadi syi’ar? Insya Allah masih mempunyai kekuatan syi’ar jika kita meniatkan betul dan menjaga niat itu ketika menyampaikan mahar.

Selebihnya, syi’ar dalam bentuk-bentuk seperti itu, sifatnya sangat kontekstual. Kalau dulu, mahar berupa perlengkapan shalat mempunyai kekuatan syi’ar sangat besar, maka sekarang perlu kita pikirkan kembali. Ketika orang belum begitu mengenal shalat, mahar berupa perlengkapan shalat membuat undangan terkesan dan mencatat dalam hatinya tentang sebuah kemuliaan: shalat. Sekarang, ketika masalahnya berganti, bentuk mahar yang menjadi syi’ar dapat dipilih yang lebih sesuai dengan semangat yang ingin kita tumbuhkan sekarang. Misalnya, jubah dengan atau tanpa cadar dan perlengkapannya. Di luar itu, disampaikan mahar lain jika memungkinkan dan disebut bersamaan dengan penyebutan mahar jubah. Adapun kalau ada hadiah sebelum atau sesudah akad nikah, maka yang demikian ini tidak termasuk yang disebutkan.

Selanjutnya, ada yang perlu kita waspadai. Mahar bisa menjadi syi’ar. Tetapi juga bisa menjadi sarana untuk mendapatkan penilaian sosial. Yang pertama, kita mengarahkan masyarakat kepada suatu kesan yang baik terhadap agama, dan mudah-mudahan hati mereka tergerak. Yang kedua, penilaian masyarakat mengarahkan kita untuk menentukan mahar yang disebut layak, baik dan pantas. Atau, penyebutan mahar malah dalam rangka menunjukkan ketinggian derajat atau kebesaran martabat keluarga wanita yang menikah, meskipun untuk itu harus dilakukan impression management (manajemen kesan) sehingga orang mendapat kesan yang lebih dari sesungguhnya.

Berbeda sekali antara dua hal tersebut, baik dalam makna maupun dalam akibatnya.

Satu catatan, tidak ada keharusan memberikan bentuk mahar sebagai syi’ar khusus. Mahar lebih dekat artinya kepada pemberian sebagai bukti kebenaran kasih- sayang dan ketaatan kepada syari’at yang telah ditetapkan oleh Asy-Syari’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Ini yang paling penting.

Pembahasan kita tentang mahar Ummu Sulaim dan tujuan dakwahnya, sekedar untuk menunjukkan bahwa mahar tidak harus selalu berbentuk harta. Musa diminta memberi mahar berupa pekerjaan menggembala kambing beberapa tahun. Dan Ummu Sulaim meminta mahar berupa kesediaan masuk Islam demi meninggikan kemuliaan Islam.

Tidak Bisa Dinilai Secara Kuantitatif

Kisah mahar Ummu Sulaim menunjukkan pengertian bahwa, mahar tidak dapat diukur dari sedikit-banyaknya secara kuantitatif. Segenggam tepung bahan roti(makanan); sebuah cincin besi; dan sepasang terompah dapat dijadikan sebagai mahar yang menjadikan perkawinan sah karenanya. Begitu pengertian yang bisa kita ambil dari Shaleh bin Ghanim.

Pernikahan Fathimah Az-Zahra

Siapakah Fathimah Az-Zahra? Kita bisa menjawab, dia adalah putri Muhammad Rasulullah. Ibunya adalah Khadijah binti Khuwailid, wanita paling agung di zamannya.

Tetapi ini tidak mencukupi untuk memperoleh gambaran tentang siapa FathimahAz-Zahra. Banyak orang yang menulis buku khusus untuk mencoba menggambarkankeagungan dan kebesarannya. Seandainya kita sempat mengetahui, yang agak lengkap sedikit saja, tentang bagaimana wanita yang akan pertama kali masuk surga ini mengatur rumah tangga dan mendidik anaknya, betapa besar pelajaran yang akan diperoleh oleh kaum Muslimin. Seandainya, kita sempat menghayati sedikit saja bagaimana Fathimah Az-Zahra menjadi madrasah dan masjid pertama bagi anak-anaknya, insya-Allah kita akan mendapatkan kesempurnaan cara mendidik yang sebaik-baiknya. Sehingga, kelak akan lahir anak-anak yang penuh barakah dan diridhai Allah sampai keturunan yang lahir jauh sesudah masanya lewat.

Tetapi, sedikit sekali yang kita ketahui, kecuali peristiwa ketika tangan putri pemimpin besar ini melepuh karena memutar gilingan. Itu pun sering tidak lengkap. Sangat tinggi keagungan Fathimah Az-Zahra. Ayahnya memberi julukan Ummu Abiha (ibu yang melahirkan ayahnya) karena besarnya penghormatan dan kebaktian Az-Zahra kepada Rasulullah. Setiap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dari bepergian, beliau langsung singgah di rumah Fathimah, setelah menunaikan shalat dua raka’at di masjid. Baru sesudah itu beliau menjenguk istrinya. Kalau Fathimah datang, Rasulullah segera berdiri menyambut dan menciumnya.

‘Aisyah, istri yang paling dicintai Rasulullah sesudah Khadijah, menceritakan, “Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling mirip keadaannya denganRasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam cara berdiri dan duduknya seperti Fathimah, putri RasulullahSaw. Bila dia datang, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam segera berdiri dan menyambutnya, menciumnya, dan mendudukkannya di tempat duduknya.”

Sebagai istri, Az-Zahra juga teladan yang tak habis-habisnya untuk setiap muslimah. Tidak pernah ia membuat marah suaminya, karena Allah tidak menerima ibadah seorang istri sampai suaminya ridha.

Tentang Az-Zahra, suaminya mengatakan dengan kalimat singkat, “Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku.”

Fathimah Az-Zahra memang penuh kemuliaan dan kasih-sayang. Ketika suaminya pulang perang dalam keadaan penuh luka, Fathimah merawatnya dengan penuh kasih-sayang. Ia bersihkan darah suaminya, Ali bin Abi Thalib, dengan penuh perhatian.

Dari rahimnya lahir anak-anak yang penuh kemuliaan. Dua orang putranya, Hasan dan Husain r.a. sudah kita kenal kemuliaannya. Zainab, putri Fathimah, adalah wanita yang tegar dan penuh kehormatan berani mempertahankan diri di hadapan penguasa yang telah menghina dan memenggal leher saudaranya, Al-Husain. Ia melindungi ‘Ali Ausath, putra Al-Husain, setelah dua ‘Ali lainnya mendapati kematian di ujung pedang yang kejam. Kelak ‘Ali Ausath dikenal sebagai ‘Ali Zainal ‘Abidin, pemuka ahli ibadah. Dan, dari keturunan laki-laki mulia ini, kita menjumpai orang-orang yang banyak berjuang demi keharuman agama dan kehormatan ummat manusia, sampai sekarang. Mulai dari Mesir, Yaman, Malaysia, Bandung, Surakarta hingga bagian timur Indonesia.

Bagaimana Fathimah melahirkan keturunan yang penuh barakah? Anak-anak itu lahir dari pernikahan yang barakah. Pernikahan yang diridhai Allah. Kemudian Fathimah mendidiknya dengan keteguhan yang mengagumkan. Sebagai gambaran, kita dengarkan penuturan Jabir Al-Anshari. Jabir meriwayatkan bahwa, Nabi melihatFathimah sedang menggiling dengan kedua tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah air mata Rasulullah.

“Anakku,” kata Rasulullah, “engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”

Ketika mendengar ucapan Rasulullah, Fathimah Az-Zahra mengatakan, “Ya Rasulullah, segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya, dan pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya.”

Begitu sebagian berita yang sampai kepada kita tentang rumahtangga Fathimah Az-Zahra. Bagaimana pernikahan Fathimah Az-Zahra dengan ‘Ali putra Abi Thalib? Apa mahar yang diberikan oleh ‘Ali dalam pernikahan yang penuh barakah itu? Kita sudah sering mendengar berita bahwa, ‘Ali menjual baju besi untuk membayar maharnya. Konon, baju besi itu dibeli oleh Utsman bin Affan seharga 400 dirham yang kemudian menghadiahkan kembali kepada ‘Ali. Begitu menurut sebagian riwayat.

Tetapi, apa yang dilakukan setelah memperoleh hasil penjualan baju besi itu? Ia menyerahkan uang itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian memberikan sebagian uang itu kepada Asma’ untuk membeli wewangian, sebagian kepada Ummu Salamah untuk makanan, sebagian kepada tiga orang sahabat, yaitu ‘Ammar, Abu Bakar, dan Bilal. Ketiga sahabat ini membelanjakan uang untuk membeli perlengkapan dan perabot rumahtangga Fathimah Az-Zahra. Perabot rumahtangga yang sederhana. Padahal ayahnya adalah seorang pemimpin, seorang tokoh besar yang disegani dan dihormati. Andaikan Rasulullah mau yang jauh lebih mewah, beliau akan bisa mendapatkan dengan cara apa pun. Tetapi Rasulullah tidak melakukannya. Di sini ada yang bisa kita renungkan.

Inilah mahar pernikahan Fathimah Az-Zahra yang penuh barakah. Darinya lahir keturunan yang penuh barakah sampai hari ini.

Sekarang ketika kita hendak mencari pernikahan yang barakah, kita bertanya dimana Fathimah Az-Zahra? Kita membutuhkan teladan yang suci dari wanita agung ini. Akan tetapi, Fathimah Az-Zahra telah lama tiada menyusul ayahnya kerahmatullah. Az-Zahra telah tiada. Entah, teladannya masih kita ikuti ataukah ikut pergi bersama ketiadaan beliau.

Seperti Apakah Keturunan Kita?

Pernikahan Fathimah Az-Zahra dan Sayyidina ‘Ali yang penuh barakah telah melahirkan orang-orang yang penuh kemuliaan. Kita mengenal Imam Syafi’i, peletak dasar ‘ushul fiqih yang melalui jalur ibu bersambung kepada Fathimah Az-Zahra. Kita mengenal Sayyid ‘Abdullah Haddad, seorang ‘alim yang wara’ dan faqih. Kita juga mengenal Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani. Mengenai beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengatakan dalam bukunya Qadha’ dan Qodar, “Adapun para imam kaum Sufi serta para syaikh terdahulu yang terkenal seperti Al-Junaid bin Muhammad beserta pengikut-pengikutnya, juga seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan orang-orang semisalnya, maka mereka adalah termasuk orang yang paling memperhatikan perintah dan larangan, termasuk orang yang sering mewasiatkan (kepada murid-muridnya) untuk mengikuti yang demikian itu, dan paling sering mengingatkan agar mereka jangan berjalan bersama (memikir-mikirkan) takdir, sebagaimana pengikut-pengikut berikutnya berjalan mengikuti mereka.”

“Inilah perbedaan kedua yang pernah dikatakan oleh Al-Junaid kepada para pengikutnya dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani; perkataan yang semuanya berkisar pada ittiba’ terhadap perintah, meninggalkan larangan dan sabar menerima takdir. Beliau tidak pernah menetapkan suatu tarekat-pun yang bertentangan dengan prinsip di atas sama sekali; baik beliau sendiri maupun pada umumnya syaikh-syaikh yang bisa diterima kehadirannya oleh kaum Muslimin….”

Orang-orang seperti mereka itulah yang lahir dari pernikahan Fathimah Az-Zahra! Lalu, seperti apakah keturunan yang akan lahir dari pernikahan kita? Apakah kelak Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang memberi bobot kepada bumidengan kalimat laa ilaaha illaLlah? Kita berharap demikian. Pada saat yang sama, marilah kita periksa niat dan keadaan hati kita.

Ya Allah, sesungguhnya hati kami dalam genggaman Engkau. Kepada-Mu ya Allah, kami memohon rahmat, bersihkanlah hati kami yang kami sendiri tidak sanggup memeriksanya. Betapa pun kami masih banyak melakukan maksiat kepada-Mu, Ya Allah, kami masih berharap kepada-Mu dengan hak ummat Muhammad, karuniakanlah kepada kami keturunan yang menyejukkan mata dan meninggikan kalimat-Mu.

Allahumma amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar