Minggu, 21 Juni 2015

Cinta Dunia dan Takut Mati



Menurut Imam Al-Ghazali, cinta dunia adalah pangkal segala dosa. Gemerlap dunia seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa pada tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhirat.


Cinta dunia dan takut mati adalah dua hal yang menyebabkan umat Islam tidak bermartabat, dan dalam sebuah hadits , Nabi Saw menyebut “penyakit umat” ,karena penyakit itu, umat Islam menjadi seperti buih di lautan yang terombang-ambing ombak. Mereka tidak punya pendirian, mengorbankan idealisme, bersikap pragmatis bahkan oportunistis, terbawa arus, dan menyimpang dari jalan yang sudah digariskan Allah Swt (syariat Islam).


Sebenarnya, Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati kesenangan duniawi, asalkan berada dalam batas-batas yang telah digariskan Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya, “Dan carilah apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash: 77)


Rasulullah Saw membimbing umatnya bagaimana sebaiknya menyelaraskan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat agar kita bisa meraih “fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah” (kebaikan/kebahagiaan di dunia dan akhirat), dengan sabdanya: “Bekerjalah engkau untuk duniamu seolah-seolah engkau hidup selamanya dan beramallah engkau untuk akhiratmu seolah-olah engkau mati besok” (HR. Ibnu ‘Asakir).


Islam tidak mengharamkan umatnya untuk hidup berlimpah harta dan menikmati kesenangan duniawi. Asalkan semua itu dicapai dengan jalan halal, lalu membayarkan zakatnya, mengeluarkan infak dan sedekah, siap membantu kaum lemah, tidak menjadikan kekayaan itu sebagai tujuan hidup, dan tidak membuat lalai dari mengingat Allah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi” (QS. Munafiqun:9).


Islam bahkan mengharuskan umatnya mencari rizki guna memenuhi segala kebutuhannya. Islam menilai, usaha dengan bekerja sendiri merupakan sesuatu yang amat mulia, sedangkan mengemis merupakan sesuatu yang hina.


Hanya saja, jangan sampai umat Islam terlena dengan kenikmatan dunia, sehingga melupakan aturan Allah dan kehidupan akhirat. Jika itu terjadi, berarti umat terkena penyakit “cinta dunia”, yaitu menjadikan dunia sebagai tujuan. Padahal, harta, kedudukan, atau hal duniawi lainnya itu hanyalah sarana (tool) untuk menggapai kehidupan bahagia dunia-akhirat. Bahkan, kehidupan dunia ini hanyalah “permainan”.


“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyanya harta dan anak…” (QS. Al-Hadid:20).


Menurut Imam Al-Ghazali, cinta dunia adalah pangkal segala dosa. Gemerlap dunia seringkali membuat orang tersesat sehingga lupa pada tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhirat. “Ibarat pemula yang menunaikan ibadah haji, dia pasti disibukkan dengan segala persiapan dan perbekalan serta perlengkapan kendaraannya, sehingga akhirnya dia pun tertinggal oleh rombongannya dan gagal menunaikan ibadah haji, malah dimangsa oleh binatang buas di padang pasir,” kata Al-Ghazali (Teosofia Al-Quran, 1996:162).


Dunia berasal dari kata “danaa” yang artinya dekat. Itu berarti, urusan dunia adalah urusan yang kenikmatannya hanya bisa dirasakan di dunia ini. Orang yang sibuk dengan urusan dunia berarti orang yang sibuk dengan urusan-urusan yang kenikmatannya hanya bisa dirasakan di dunia ini, bahkan bisa jadi malah bertentangan dengan usaha pencapaian kenikmatan ukhrawi.


Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menyatakan, orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan (cita-cita hidupnya), maka dia tidak akan mendapatkan apa pun dari Allah, justru dia akan senantiasa menyiksa hatinya dengan empat perkara: kesusahan yang tidak ada putus-putusnya, kesibukan yang tiada akhirnya, kemiskinan yang tiada mencapai kekayaannya, dan angan-angan yang tidak akan pernah sampai tujuannya selama-lamanya.


Dalam hadits lain Rasul menggambarkan nasib orang yang cinta dunia di akhirat kelak. “Kelak pada hari kiamat akan datang suatu kaum yang amal perbuatan mereka seperti Gunung Tihamah, tetapi mereka digiring ke neraka,” ujar Rasul. Para sahabat bertanya: “Termasuk orang yang mengerjakan shalat, Ya Rasulullah?” Rasul menjawab: “Ya, mereka shalat, puasa, dan bangun di sebagian tengah malam. Dan bila ditawarkan nilai dunia, maka mereka sama-sama bergegas merebutnya”.


“Ketahuilah, bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian dia menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20). Wallahu a’lam. (ASM. Romli).*




1 kommentar



  1. Ibnu Auf 28 Desember 2011 pada 1:23 pm
    Dalam hadits lain Rasul menggambarkan nasib orang yang cinta dunia di akhirat kelak. “Kelak pada hari kiamat akan datang suatu kaum yang amal perbuatan mereka seperti Gunung Tihamah, tetapi mereka digiring ke neraka,” ujar Rasul. Para sahabat bertanya: “Termasuk orang yang mengerjakan shalat, Ya Rasulullah?” Rasul menjawab: “Ya, mereka shalat, puasa, dan bangun di sebagian tengah malam. Dan bila ditawarkan nilai dunia, maka mereka sama-sama bergegas merebutnya”.

    afwan… minta periwayatnya dunk… jazakumullah…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar