Jumat, 19 Juni 2015

Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta



 

Seorang Muslim sejatinya bukanlah pembohong atau orang yang biasa melakukan kebohongan. Bahkan seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu berkata dan bersikap jujur/benar. Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.
Berbohong jelas perbuatan dosa. Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at-Taubah [9]: 119).
Dalam kitab Hawasyi Syarh al-‘Aqa’id, al-‘Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan terang-terangan (terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang dengan batiniahnya. Dengan kata lain, keadaan seorang hamba tidak bertentangan dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”
Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas itu ranting/cabang (far’[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah SWT  kecuali dengan sikap jujur/benar dan ikhlas.”
Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatan kepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun  dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma’a ash-shadiqqin (beserta orang-orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar (‘ala minhaj al-haqq).
Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga. Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.” (Mutaffaq ‘alaih).
Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari  segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al-Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa ‘bersih’ (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan. Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat-sifat munafik-sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah SAW-yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.”‌ (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq (51-51), dengan isnad sahih).
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Kidzb (dusta) adalah salah satu rukun  dari kekufuran.”‌ Selanjutnya ia menuturkan bahwa jika Allah menyebut kata nifak dalam Alquran, maka Dia menyebutnya bersama dengan dusta (al-kidzb). Demikian pula sebaliknya (Lihat: QS al-Baqarah: 9-10; QS al-Munafiqun: 1).
Walhasil, dusta/bohong merupakan karakter yang secara kongkret membuktikan bahwa pelakunya telah terjangkiti virus‌ kemunafikan. Semoga kita terpelihara dari sifat tersebut. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar