Jumat, 19 Juni 2015

Beberapa pendapat Ikut Merayakan Hari Besar Orang non Islam




Dengan datangnya tahun baru nanti diharapkan kehidupan bangsa-bangsa di dunia khususnya di Indonesia semakin baik. Walaupun para ulama banyak yang mengharamkan umat Islam ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi namun pencerahan dari kalangan ustadz dan guru agama itu kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Alasannya, seluruh dunia merayakannya dan mereka bersikeras tidak ada sangkut pautnya dengan kaidah agama, melainkan milik semua orang di dunia.

Kita yakin dan berharap tidak ada dari kalangan umat Islam yang ikut merayakan datangnya tahun baru Masehi untuk meniru dan menyemarakkan ritual agama lain. Dan mungkin hanya sebagian saja sekadar ikut-ikutan takut dibilang tidak anak gaul.

Sedikit sejarah tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma.Sebelum Caesar terbunuh dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi Agustus. Saat ini, tahun baru Masehi– 1 Januari– dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen dan Yahudi. Namun kenyataannya, tahun baru itu sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum untuk warga dunia, termasuk Indonesia dikarenakan umat Islam banyak tidak mengetahui sejarahnya.

Memang di kalangan ulama saja berbeda pendapat seputar merayakan tahun baru Masehi ini. Kelompok Ustadz Yahya Tambunan tegas mengharamkannya meskipun dilakukan kegiatan zikir dan mengakhirinya dengan pembakaran kembang api. Sedangkan kelompok M. Hatta dan Hasan Bakti Nst membolehkannya tergantung niat. Jika dimaksudkan untuk menyemarakkan kegiatan agama lain tentu tidak dibolehkan, tapi kegiatan zikir menyambut tahun baru itu lebih baik (Waspada, 27/12).

Hemat kita, MUI pusat dan MUI daerah punya kewajiban memberikan informasi-pencerahan dan mengedukasi umat Islam terkait dengan upaya menyemarakkan tahun baru Hijriyah dan melarang umatnya ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi. Sayangnya, fungsi MUI masih belum berjalan dengan efektif sekalipun sudah berdiri sejak 1975. Di antara fungsi yang diemban MUI –tempat berkumpulnya para ulama dan cendekiawan muslim– adalah melakukan Amar Makruf Nahi Munkar, membimbing dan pelayanan umat, serta membuat fatwa.

Tahun baru Islam (Hijriyah) baru saja berlalu dengan kondisi serba apa adanya, jauh dari meriah. Umat Islam belum banyak yang tergerak hatinya untuk melakukan perubahan dengan mencintai sejarah Hijriyah ketimbang sejarah Masehi. Akibatnya berbagai kegiatan terkait peringatan tahun baru Hijriyah hanya dihadiri sebagian kecil umat Islam di kota-kota besar saja. Padahal, panitia sudah berupaya membuat dan mendatangkan penceramah kondang dan artis Islami dll.

Akan sangat bertolak belakang dengan peringatan tahun baru Masehi. Masyarakat dari segala umur dan etnis menyemut merayakannya di jalan-jalan, hotel-hotel, lapangan terbuka, lokasi wisata tanpa diundang bahkan harus membayar mahal. Mereka pesta semalam suntuk, meniup terompet, membakar kembang api, berjoget ria, bahkan pesta minuman keras dan melakukan seks bebas. Situasinya dibuat serba modern, gemerlap, dan hura-hura.

Yang membuat kita prihatin adalah pelakunya banyak dari kalangan generasi muda Islam sehingga dapat dipastikan mereka selama ini kurang mendapatkan pendidikan agama secara benar di sekolah maupun di dalam keluarganya. Jika saja mereka tahu sejarah tahun baru Masehi pastilah tidak akan ikut merayakannya.

Memang dalam Islam tidak boleh kita meniru ritual atau meniru cara-cara umat dari agama lain. Islam punya aturan sendiri, namun tidak boleh ditambah-tambahi juga bisa menjadi bid’ah. Itu sebabnya sebagian ulama selalu berbeda pendapat dalam merayakan tahun baru Hijriyah apalagi dalam merayakan datangnya tahun baru Masehi semakin berbeda pendapatnya.

Sebagian ulama menyatakan tidak ada ritual khusus dan doa-doa khusus terkait dengan tahun baru Hijriyah, apalagi Masehi, sehingga mengadakan zikir pun tidak ada ketentuannya—kata sebagian ulama. Namun kita sepakat terpulang dari niatnya harus islami. Jika niatnya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta (Allah SWT) tentunya boleh kapan dan di mana saja, tidak terkecuali pas pada peringatan datangnya tahun baru Masehi.


Haram Ikut Merayakan Hari Besar Orang-Orang Musyrik

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن كَادُواْ لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذاً لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً. وَلَوْلاَ أَن ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئاً قَلِيلاً . إِذاً لَّأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيراً

“Dan hampir-hampir mereka itu merusak (keyakinanmu) terhadap ayat-ayat yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengadakan kata kata dusta akan kami (dengan perintah) selain Nya. Selanjutnya (apabila engkau mentaati mereka) pastilah mereka menjadikan dirimu sebagai kekasih. Dan apabila tidak Kami teguhkan (keimananmu) sungguh hampir-hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Dan apabila engkau telah condong kepada mereka (orang orang musyrik) itu, Kami timpakan kepadamu siksa yang berlipat lipat di dunia dan siksa yang berlipat-lipat setelah kematian, kemudian engkau tidak akan mendapatkan pertolongan sedikitpun dari Kami” (Qs. Al-Isra’ 73-75).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian terbiasa mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian urusan itu lebih ringan dari sehelai rambut. Akan tetapi kami (para shahabat) dahulu ketika Rasul masih hidup, meyakininya sebagai mubiqaat (penghancur keimanan).”

Asbaabub Nuzul

Dari shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Suatu hari keluarlah Umayyah bin Khalaf dan Abu Jahal berserta beberapa tokoh kafir Quraish yang lain, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Muhammad, datanglah engkau (ke tempat peribadatan kami) kemudian SENTUHLAH BERHALA BERHALA KAMI, maka kami pasti masuk Islam karenanya.” Rasul begitu besar keinginan agar orang-orang itu masuk Islam, maka beliau condong untuk melaksanakan hal itu. Akan tetapi turunlah firman Allah di atas. (HR. Ibn Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim, dengan sanad Jayyid)

وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللّهِ مِنْ أَوْلِيَاء ثُمَّ لاَ تُنصَرُونَ

“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim (kafir) sehingga kamu pasti terbakar api neraka, dan kamu tidak akan mendapatkan penolong selain Allah, kemudian mereka itu pun tidak akan mampu memberikan pertolongan kepadamu” (QS. Hud: 113)

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً

Dan telah diturunkan (ajaran) kepada kalian, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah dipermainkan dan diingkari maka janganlah sekali kali kalian duduk bersama mereka (orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah dan mengingkarinya), sehingga mereka mengalihkan pembicaraan kepada pembicaraan yang lain. (Apabila) kalian tetap duduk-duduk bersama mereka ketika mereka mempermainkan ayat-ayat Allah) maka kalian sama dengan mereka. Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang-orang munafik dan orang kafir seluruhnya di dalam neraka Jahanam. (QS. An-Nisa’ 140)

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Dan sekali kali tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan tidak pula Nasrani, sehingga kalian mengikuti kebiasaan (agama) mereka. (QS. Al-Baqarah: 120)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari bagian kaum itu” (HR. Abu Daud, Kitabul Libas: 4/314. Ahmad, al Musnad: 7/142 no: 5114. Hadits shahih)

“Sungguh kalian pasti mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga apabila mereka masuk ke dalam lobang biawak tentu kalian mengikuti mereka. Kami bertanya: “Ya Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasranikah?” Rasul menjawab: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Al-Bukhary, Kitabul I’tisham: 13/300. Muslim, Kitabul Ilmi: 4/2154, no: 2569)

Bukan golongan kami orang-orang yang bertasyabbuh dengan orang-orang selain golongan kami. (HR. At-Tirmidzi, as-Sunan: 7/335, no: 2696. hadits hasan)

“Sesungguhnya orang orang Yahudi dan Nasrani itu tidak beragama. Maka selisihilah mereka” (HR. al Bukhary, Kitabul Anbiya: 6/496. Muslim: Kitabul Libas: 3/1663, no: 2103)

“Selisihilah orang orang Yahudi” (HR. Abu Daud, Kibush Sholah: 1/147. no: 652. Hadits shahih)

Pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya, di mana mereka bersenda-gurau di dua hari itu. Maka Rasul bersabda: Aku datang kepada kalian sedangkan kalian memiliki dua hari dimana kalian bersenda-gurau di dalamnya. Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari pada keduanya. Yaitu hari ‘Iedul Fitri dan hari raya Qurban. (HR. Ahmad: 12362)

Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu berkata:

Jauhilah orang-orang asing dan kaum musyrikin di hari raya mereka, di gereja-gereja mereka. Sesungguhnya murka Allah pasti menimpamu apabila engkau melakukan hal yang dilarang itu. (HR. al-Baihaqy. Dalam Iqtidha’: 192 dan 197)

Abdullah bin Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhumaa

Barangsiapa menetap di wilayah orang-orang musyrik, membuat hidangan untuk hari raya mereka dan menyerupai mereka, hingga orang itu meninggal. Maka dia akan berkumpul bersama orang-orang musyrik itu di hari kiamat kelak. (Iqtidha’ Shiratal Mustaqim: 84)

Ibnul Qoyyim al jauziyyah

Adapun ucapan selamat terhadap simbol simbol kekufuran secara khusus, telah menjadi ijma kaum muslimin haram hukumnya. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya atau puasa mereka dengan mengatakan “Hari raya yang diberkahi bagimu,” atau “Selamat merayakan hari besar ini,” dan lain lain. Yang demikian itu (meskipun misalkan orang yang mengucapkan terbebas dari kekufuran) maka hal itu termasuk perkara yang diharamkan. Karena perbuatan itu serupa dengan orang yang mengucapkan selamat kepada orang lain karena orang itu telah bersujud kepada salib. Bahkan dosanya lebih besar di hadapan Allah dan murka Allah lebih besar dari pada ucapan selamat terhadap orang-orang yang minum khamr, membunuh , berzina dan lain-lain. Karenanya banyak orang yang tidak kokoh agamanya terjerumus dalam hal itu dan tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Barangsiapa mengucapkan selamat kepada seseorang karena perbuatan maksiat, bid’ah dan kekufurannya (kepada Allah) berarti dia telah mengundang murka Allah dan amarah-Nya. (Ahkam Ahludz Dzimmah dalam Fatawa al ‘Ashriyyah juz 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah

Tidak ada perbedaan dalam urusan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah hari raya dengan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam menjalankan ajaran agama. Karena penyerupaan dalam masalah hari raya merupakan penyerupaan dalam masalah kekufuran.” (Iqtidha Shiratal Mustaqim: 208). Wallahu a’lamu bis-shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar